google.com, pub-3826199655241695, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Sekolah Pembuangan, Antara Mendidik dan Mengajar, Menjadi Guru atau Instruktur

Sekolah Pembuangan, Antara Mendidik dan Mengajar, Menjadi Guru atau Instruktur


Jiwa dan naruni seorang guru tentulah tak pernah akan mengatakan sekolah pembuangan, karena pada hakekatnya seorang guru adalah seorang tenaga profesional yang dididik dan dilatih untuk memproses sesuatu yang nol, yang tidak baik, yang cacat untuk menjadi Baik. Menciptakan output yang akhirnya berguna untuk orang banyak.
Sementara sekolah merupakan tempat melakukan proses penciptaan output itu. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan Statment yang entah darimana keberadaannya tiba-tiba menyeruak. Statment “Sekolah Pembuangan”.
Google, sebagai sumber literasi yang banyak digunakanpun tak berdaya mendefenisikan arti kalimat “Sekolah Pembuangan”. Hingga pada akhirnya, tak sedikit yang geram ketika ada oknum guru yang mengucapkan kata “Sekolah Pembuangan”, meski hanya sebagai alasan pembenaran atas sebuah ego yang menafikan Jiwa dan Nurani seorang Guru.
Menjustifikasi sebuah keadaan yang belum diyakini kebenarannya adalah sebuah tindakan yang tidak ilmiah. Mungkin ketidakilmiahan inilah yang melahirkan kalimat “Sekolah pembuangan” tersebut. Bersikap hanya dengan mendengar atau melihat tanpa mencoba mencari tahu kebenaran sesungguhnya yang berpangkal ke sebab akibat adalah bukan kelakuan seorang guru. Guru sebagai Pelaku dalam sebuah sekolah adalah orang-orang ilmiah yang bertindak berdasar apa yang diketahui. Bukan pada apa yang didengar atau apa yang dilihat.
Dalam menentukan sikap, guru sewajibnya bisa mengolah apa yang dilihat, apa yang didengar, kemampuan serta kapasitas dan kapabilitasnya dengan situasi dan kondisi kejiwaan yang ada. Alangkah meruginya seorang anak bangsa ketika dalam mengambil sebuah keputusan tanpa ada “olahan” dari kepala guru yang nota bene adalah pencipta orang-orang hebat di dunia.
Pun sebagai seorang Guru, juga seharusnya mengelaborasikan tugas dalam bidang Profesi dan tugas kemanusian. Tugas dalam bidang profesi meliputi mendidik dan mengajar dan tugas guru dalam bidang kemanusian di sekolah yang harus menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua, yang wajib menarik simpati. Guru harus mencintai anak didiknya sebab cinta senantiasa mengandung arti menghilangkan kepentingan diri sendiri untuk keperluan orang lain. (Hamdani dan Fuad, 2007:102)
Tindakan ini mungkin diakibatkan karena tidak semua guru mampu mendidik walaupun ia pandai mengajar. Untuk menjadi seorang pendidik seorang guru tidak cukup hanya menguasai materi dan keterampilan mengajar. Lebih dari itu, seorang guru perlu memahami norma-norma dalam masyarakat, berwawasan luas yang hingga pada akhirnya dia mampu menghubungkan materi yang disampaikannya dengan sikap dan keperibadiaan yang harus tumbuh sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dengan keadaan yang kekinian.
Berdasar hal tersebut wajiblah seorang guru dapat membedakan arti mendidik dan mengajar. Karena pada dasarnya pengertian mendidik dan mengajar adalah dua hal yang sangat berbeda.
Dalam kehidupan kita, yang membedakan manusia dengan binatang adalah proses didikannya, bukan proses belajarnya, karena hewan juga belajar meski lebih ditentukan oleh insting atau perasaanya. Sedangkan manusia belajar dari rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti.
Juga tak kalah pentingnya adalah, seorang guru hendaknya memahami ilmu psikologi pendidikan yang dijadikan patron dalam mendidik dan mengajar.
Pasalnya, realitas globalisasi dan modernisasi dilengkapi dengan perkembangan teknologi yang begitu pesatnya, diakui atau tidak telah memberi dampak negatif yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dampak positif yang ditimbulkan terhadap perkembangan para generasi bangsa ini.
Dampak negatif dari globalisasi, modernisasi dan perkembangan teknologi yang begitu pesatnya terhadap perkembangan generasi-generasi bangsa ini tentunya bukan merupakan rahasia lagi. Hampir tiap hari kita disuguhi dengan informasi-informasi mengenai pelajar yang membolos sekolah dan keluyuran dijalanan, pelajar yang terlibat perkelahian, pelajar yang terlibat perilaku seks bebas, pelajar yang terlibat penyalah gunaan narkoba dan masih banyak lagi.
Realitas perilaku para pelajar sebagaimana telah digambarkan diatas, jelas sangat menuntut keterampilan para tenaga pendidik dalam memahami perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik para pelajar jika menginginkan para pelajar tersebut tidak gagal di bangku sekolah dan tidak kehilangan masa depan mereka.
Pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari psikologi. Sumbangsih psikologi terhadap pendidikan sangatlah besar. Kegiatan pendidikan, khususnya pada pendidikan formal, seperti Proses Belajar Mengajar, sistem evaluasi, dan layanan Bimbingan dan Konseling merupakan beberapa kegiatan utama dalam pendidikan yang di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari psikologi. Disinilah pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi para tenaga pendidik.
Ketika seorang anak didik bermasalah, wajiblah bagi seorang guru mengevaluasi dirinya sendiri sebelum menarik sebuah resume yang bisa saja merugikan anak didik tersebut. Karena sadar atau tidak, ketika guru mengajar, kadangkala ada siswa yang berontak, menolak, dan lari dari kelas. Umumnya, siswa berontak bukan karena sekadar iseng. Ada beberapa alasan yang membuat siswa memutuskan untuk melakukan hal itu.
Alasan yang pertama mungkin karena siswa ingin “Balas dendam”. Balas dendam disini karena mungkin saja seorang guru tanpa sengaja mengkhianati perhatian siswa, hingga siswa juga bisa melakukannya, bahkan lebih hebat dari guru. Kalaupun sampai ketahuan oleh guru, mungkin memang siswa sengaja. Masing-masing siswa memang mempunyai cara balas dendam sendiri dalam menghadapi. Siswa dapat melakukan balas dendam dengan sembunyi-sembunyi di belakang guru, dapat juga siswa sengaja “memamerkannya” dengan cara mengobrol terus tanpa henti, cuek, cemberut, dan melakukan perbuatan melawan guru.
Alasan lain yang memungkinkan adalah adanya kenyataan yang tidak Sesuai. Siswa akan berontak ketika nilai pelajaran yang diperolehnya tidak sesuai antara yang tertulis dengan apa yang diharapkan siswa. Apalagi, siswa mengetahui bahwa temannya yang dianggap lebih kurang pintar di kelas malah mendapatkan nilai yang baik.
Setiap siswa ingin selalu menjadi nomor satu dalam hidup diri guru. Bukan nomor dua, apalagi nomor-nomor berikutnya. Jika siswa merasakan bahwa dirinya menjadi nomor dua dibandingkan siswa lain, siswa itu akan berontak dengan caranya sendiri. Maka, jadikanlah semua siswa nomor satu dalam diri guru karena ini juga bisa menyebabkan siswa berontak.
Terkadang siswa juga menyukai hal-hal detail, misal dipuji karena rambutnya, bajunya, senyumnya, hari ulang tahunnya, atau hal-hal istimewa lainnya. Hati-hati bila guru menganggap semua ini sebagai hal remeh, apalagi bila selama ini siswa selalu perhatian terhadap guru. Bila guru tidak pernah menghargai apa yang sudah dilakukan siswa untuk guru dan mengabaikan hal-hal yang dianggapnya penting, bersiaplah menghadapi pemberontakan hebat dari siswa.
Jadilah guru yang berkarakter yang mampu mengemban amanah yang diberikan kepadanya dengan baik. Memiliki daya tarik yang dapat memikat anak didiknya. Mampu memahami kemampuan setiap anak didiknya dan memotivasi anak didiknya untuk berprestasi. Motivasi-motivasinya membuat anak didiknya semangat dalam belajar.
Seorang guru yang berkarakter mampu mengantarkan anak didiknya ke gerbang prestasi. Mereka mampu mencetak anak-anak Indonesia yang berkualitas dan berguna bagi nusa dan bangsa. Dengan cerdasnya anak bangsa, Indonesia pun akan maju. Generasi penerus bangsa yang cerdas akan menjadi jembatan kemajuan bangsa Indonesia. Generasi penerus bangsa yang cerdas mencerminkan pribadi bangsa dan mengangkat derajat serta martabat bangsa di mata dunia. Bukan malah menjustifikasi dengan alasan pembenaran. Karena kalau kita gagal menciptakan anak bangsa, maka kita tak berhak menyandang status kita sebagai seorang guru.
Jadilah seorang guru yang berkarakter yang menjadi panutan ketika dia berada di depan (Ing Ngarsa Sung Tuladha), berada di tengah untuk membangun spirit dan mendinamisasi siswa (Ing Madya Mangun Karsa), berada di belakang untuk mengawal dan memotivasi peserta didik, seraya senantiasa waspada menggunakan kewenangannya (Tut Wuri Handayani).#####