google.com, pub-3826199655241695, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Dilan: Wahai Guru BK, Berterima kasihlah ke Anak Nakal

Dilan: Wahai Guru BK, Berterima kasihlah ke Anak Nakal


Belakangan ini, seorang wali siswa kerap menelpon saya. Wali siswa ini mengadu berkeluh kesah. Anaknya terancam dikeluarkan dari sekolah. Dari cerita sang Wali, anaknya dianggap jahil dan senang membuat onar. Malah Informasi dari guru BK ke sang Wali, bukan hanya guru-guru yang ada disekolah itu yang tidak senang pada anaknya, tapi melainkan se linkungan sekitar sekolah juga tidak senang atas tingkah laku anak ini.

Jika mendengar dari cerita sang wali, dalam pemikiran saya, kenakalan siswa ini sudah dalam stadium IV, masuk dalam fase Kritis. Namun demikian, meskikah dia dikeluarkan begitu saja? Apakah anak yang dianggap bermasalah perlu dikeluarkan dari sekolah mmeski jelang detik-detik mendekati ujian akhir nasional?

Dulu sering saya dengar adigium, "sebagai pendidik, bila ada anak didik yang tidak bisa dibina, ya sekalian dibinasakan saja. Bila ada virus dalam tubuh, maka virus tersebut perlu dikeluarkan dari tubuh, ini untuk menjaga nama baik sekolah. Jika bermasalah dan berpotensi mencemarkan nama baik sekolah sebaiknya dipindahkan saja"......

Menurut pendapat Prof. Dr. S. Nasution dalam bukunya "Sosiologi Pendidikan" fungsi sekolah antara lain: 1. Sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan. 2. Sekolah memberikan keterampilan dasar. 3. Sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib 4. Sekolah menyediakan tenaga pembangunan. 5. Sekolah membantu memecahkan masalah-masalah sosial. 6. Sekolah mentransmisi kebudayaan. 7. Sekolah membentuk manusia yang sosial. 8. Sekolah merupakan alat mentransformasi kebudayaan; dan 9. Fungsi-fungsi laten lainnya seperti sebagai tempat menitipkan anak, mendapatkan jodoh, dan sebagainya.

Singkatnya, jika dirangkum dari fungsi pendidikan yang telah dijabarkan oleh Prof Dr. S Nasution, fungsi sekolah sebagai alat mobilitas sosial, fungsi sekolah sebagai alat sosialisasi, fungsi sekolah sebagai alat kontrol dan integrasi sosial, dan yang paling utama adalah fungsi manifest, dimana adalah pendidikan intelektual, yakni “mengisi otak” anak dengan berbagai macam pengetahuan.

Sekolah dalam realitasnya masih mengutamakan latihan mental-formal, dimana dibutuhkan "pelatih" yang pada umumnya tidak dapat dipenuhi oleh keluarga atau lembaga lain. "Pelatih" demikian memerlukan tenaga khusus yang hanya dapat dilakukan oleh yang disebut guru.

Dalam hal ini, guru memiliki peran penting sebagai mediator dan lokomotif Alat Integrasi dan Pelopor Perubahan. Olehnya itu, Guru dituntut untuk menempatkan anak didik sesuai dengan dunianya, dunia anak-anak.

Bicara mengenai dunia anak, Seto Mulyadi, salah satu penggiat masalah anak pernah menulis, anak merupakan individu yang unik, yang mana satu sama lain memiliki potensi yang berbeda.

Agar dapat mengoptimalkan perkembangan kecerdasan anak, selain memahami bahwa anak merupakan individu yang unik, Seto Mulyadi juga memberi beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya memahami dan lebih mengenal dunia anak, sebagai berikut;

Bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil yang mana mereka memiliki dunia sendiri yang khas dan harus dilihat dengan kacamata anak-anak. Jadi dalam menghadapinya memang dibutuhkan kesabaran, pengertian, dan toleransi yang mendalam.

Dunia anak-anak adalah dunia bermain, yaitu dunia yang penuh semangat apabila terkait dengan suasana yang menyenangkan.

Selain tumbuh secara fisik, anak juga berkembang secara psikologis

Setiap anak pada dasarnya senang meniru, karena salah satu proses pembentukan tingkah laku mereka diperoleh dengan cara meniru. Dengan demikian orangtua atau guru dituntut untuk bisa memberikan contoh-contoh keteladanan yang nyata akan hal-hal yang baik.

Pada dasarnya anak-anak itu adalah kreatif, karena mereka banyak memiliki rasa ingin tahu dan berimajinasi tinggi. Disamping itu, anak-anak yang dihargai cenderung terhindar dari berbagai masalah psikologis serta anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal.

Yang menariknya lagi pada akhir kalimat tulisan tersebut disebutkan “Anak nakal memiliki bahan dasar pembentuk pemimpin besar”. Sebuah pernyataan yang sangat tidak bisa diterima oleh Akal sehat. Dalam fikrian orang awam, mana ada anak nakal bisa jadi pemimpin besar, nakal ya nakal.

Piaget bersama dengan Alfred Binet, penemu tes intelegensia dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kemampuan kognitif anak tidak jauh berbeda dengan orang dewasa bahkan bisa lebih. Yang membedakan adalah hanya cara berpikirnya. Piaget mengatakan bahwa anak-anak itu seperti “ilmuwan kecil” yang berusaha memahami dunia dengan caranya, bukan hanya belajar dengan menyerap informasi secara pasif. Nah,....

Kembali ke persoalan awal, curhat sang wali siswa. Terkadang problem yang muncul dalam mendidik anak adalah adanya anak yang dimasukan dalam kategori nakal, dimana anak nakal ini dianggap sebagai benalu yang bisa mencemari anak-anak lain dan dianggap pula sebagai pengganggu stabilitas keamanan sekolah. Karenanya, anak nakal ini dianggap tidak cocok untuk dididik di sekolah dimana anak tersebut telah melaksanakan proses kegiatan belajar sehari-hari.

Berangkat dari tulisan Seto Mulyadi tersebut, dalam hemat saya, anak nakal lebih tepat dikatakan eksploratif, sifat yang mungkin tak bisa diam, sifat yang ingin menyentuh apa saja, sifat yang kadang mengganggu siapa saja, sifat yang ingin mencoba apa saja, sifat yang tidak bisa diatur dan lain sebagainya.

Jadi bayangkan kalau ada anak yang masih dalam pertumbuhan emasnya tidak mengalami hal seperti ini, bisa jadi justru sebaliknya. Artinya bisa jadi pertumbuhan otaknya tak sepesat anak yang aktif/eksploratif.

Nakal bukanlah hal negatif, karena nakal berbeda dengan KRIMINAL. Sejatinya, juga telah diatur dalam undang-undang, anak belum mengenal secara utuh apa itu kriminal.

Dalam konteks mendidik anak terutama di sekolah, guru perlu betul-betul memahami dunia anak, usia psikologi anak dan perkembangan anak dari satu fase menuju fase berikutnya.

Memang harus disadari mengeluarkan anak didik memang menjadi sebuah dilema, karena sekolah memiliki aturan yang disebut tata tertib untuk anak didik dan berbagai pertimbangan lain. Bila dilihat dari sudut pandang peraturan sekolah, ada beberapa poin yang bisa diperhatikan. Pertama-tama, tentu sekolah wajib memiliki tata tertib yang mengatur warga sekolah termasuk siswa. Apa saja yang dilarang, bagaimana bentuk sanksinya, dan lain-lain. Sekolah juga wajib memiliki petugas yang menangani masalah siswa secara khusus, biasanya tim tata tertib guru BK yang berkoordinasi dengan wakasek kesiswaan. Setiap masalah siswa dikomunikasikan kepada guru terkait, misalnya wali kelas, dan orang tua.

Yang terbaik adalah orang tua hadir ke sekolah, atau guru datang ke rumah orang tua siswa dan mengomunikasikan masalah siswa. Dalam tata tertib tersebut harus mengakomodasi “masalah” siswa sampai titik toleransi tertinggi. Artinya ada tahapan-tahapan pembinaan yang dilakukan oleh sekolah untuk membina siswa secara optimal dan maksimal, dengan rentang waktu yang tertentu dan semuanya didokumentasikan secara tertulis.

Sekolah perlu memperhatikan berbagai sanksi untuk mendidik siswa, bukan hanya sanksi punishment saja. Jika seluruh tahapan sudah dilalui, tetapi harapan agar siswa mau berubah belum terwujud, maka tak ada salahnya sekolah mengembalikan siswa kepada orang tua mereka, tentu dengan memberikan bantuan, ke sekolah mana mereka dapat pindah, agar tidak putus sekolah.

Itulah yang selama ini menjadi pertimbangan sekolah terkait mengeluarkan anak didik dari sekolah. Jadi menurut penulis sekolah merupakan sebuah taman tempat anak menempa dan menemukan dunianya untuk berproses menjadi manusia yang paripurna, dalam hal ini guru hendaknya mampu melihat anak sebagai sebuah entitas yang masih berproses dan senantiasa berproses maka perlu pendampingan dan bimbingan yang tiada henti dengan penuh ketlatenan dan kesabaran.

Perlu dipertimbangkan lebih jauh untuk mengeluarkan anak didik, karena dampak anak yang dikeluarkan dalam tatanan masyarakat tidaklah sederhana. Orang tua dan lingkungan juga mendapat "cap" dari dampak anak yang dikeluarkan tersebut.

Mendidik anak disekolah bisa diibaratkan bila kita ingin menempatkan ikan laut dalam aquarium. Ikan laut dapat berkembang dengan baik bila kondisi lingkungan yang kita ciptakan yaitu Aquarium sesuai dengan kondisi laut dimana tempat ikan tersebut berasal, bukan memaksa ikan laut mengikuti keinginan kita sebagai pemilik aquarium.

Akhirnya, karena hanya mendengar keluh kesah sepihak, hanya dari sang Wali siswa, saya hanya menyampaikan,.....

1. Sebagai Wali Siswa, harus menguatkan anaknya agar tetap optimis bahwa dimanapun ia bersekolah, kesempatan untuk menjadi pelajar yang berprestasi tetap terbuka.

2. Saya juga menyarankan Wali tersebut meminta penjelasan kepada pihak sekolah untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya mengenai kronologi mengapa anaknya nyaris ataukah bahkan sudah dikeluarkan, yaitu sebuah catatan anak tersebut di sekolah. apakah selama ini anaknya sudah mendapatkan bimbingan yang proporsional sesuai prosedur (yaitu teguran, mediasi dan komunikasi antara orang tua, guru dan anak didiknya)